Pengalaman Berburu Makanan Halal di Inggris yang Penuh Suka, Duka, dan Berkah

00:25:00

www.halalhmc.org

Inggris, negara tempat ratu Elizabeth berkuasa itu, memang negara yang kerap dijadikan sebagai destinasi kunjungan turis mancanegara. Alasan para turis mengunjungi negara yang sempat membuat pernyataan kontroversial perihal isu Brexit itu pun beragam, mulai dari wisata sejarah, wisata olahraga, wisata kesenian, menang tiket doorprize, dan lain sebagainya. Ada pula yang memutuskan untuk menetap, entah karena urusan pekerjaan, ataupun studi pendidikan.

Dengan konsekuensi menjadi bagian dari masyarakat minoritas di Inggris, tidak menyurutkan nyali para kaum muslimin untuk menetap di Inggris untuk tujuan bekerja, maupun kuliah. Namun, tetap saja tantangan terbesarnya adalah mencari makanan halal. Pastinya, tidak mudah dan butuh perjuangan untuk mencari makanan halal di negara tuan rumah Piala Dunia 1966 itu.

Salah satu rekan penulis, sebut saja AFZ, kini telah memasuki bulan ke-6 perantauannya di Birmingham, Inggris. Ia adalah mahasiswa S2, tepatnya untuk studi gelar MSc Occupational Health di Institute of Occupational and Environmental Medicine, di University of Birmingham. Pada 11 Februari 2017 lalu, penulis berkesempatan mewawancarainya perihal perjuangannya mencari makanan halal yang penuh kisah suka dan duka tersebut.

Seperti apa kisahnya? Mari kita simak bersama!
University of Birmingham (Sumber: www.findamasters.com)
University of Birmingham (Sumber: www.findamasters.com)


Kisahnya diawali dengan teriak dan tangis bahagia yang pecah ketika pengumuman beasiswa LPDP pada suatu hari di bulan Agustus 2016. Bagaimana tidak? Setelah menempuh berbagai ikhtiar dan doa, akhirnya AFZ dapat diterima di universitas dan jurusan impiannya. Keluarga pun merestui, tetapi juga tak lupa berpesan, mewanti-wanti. Salah satu yang menjadi topik pembicaraan adalah “makanan halal”.

PERIODE 1-2 BULAN PERTAMA
Layaknya orang Indonesia pada umumnya yang hendak merantau ke negeri orang, AFZ pun membawa perbekalannya sendiri, seperti abon dan mie instan. Pokoknya, yang kira-kira dapat dimakan saat keadaan darurat, ketika sulit mendapatkan makanan halal. Namun, ada sedikit berita menggembirakan tentang Birmingham. Kota tempat bersemayamnya klub sepak bola legendaris Inggris, Aston Villa FC dan rivalnya, Birmingham City FC itu adalah kota dengan populasi muslim kedua terbesar di Inggris, sedangkan yang pertama adalah London. AFZ pun datang ke tanah Inggris dengan asumsi akan banyak makanan halal di sana.

Sesampainya di Birmingham, fakta yang didapatkan adalah ternyata sebagian besar dari restoran (berlabel) halal di kota itu (dan sebagian besar kota-kota di Inggris) biasanya dimiliki oleh “orang-orang IPB”. Apa itu IPB? Sebuah singkatan dari (I)ndia, (P)akistan, dan (B)angladesh. Atau istilah lainnya, restoran Kurdish. Restoran-restoran tersebut mudah ditemukan di sekitar tempat kosnya, yang merupakan daerah perumahan mahasiswa (dari berbagai mancanegara). Tepatnya, nama daerah tersebut adalah Selly Oak.

FYI: beberapa nama restoran Kurdish halal di daerah tersebut adalah “Rooster” dan “Dixy”.

King Rooster (Sumber yelp.co.uk)
Contoh Restoran Rooster di Inggris (Sumber: yelp.co.uk)
Ciri khas dari restoran-restoran yang dimiliki orang-orang IPB adalah menjual menu fried chicken, kentang goreng, burger, chicken strip, chicken wings, dan lain sebagainya. Ada juga restoran ala Turkish yang menjual menu khas negara Turki. Untuk kafetaria di dalam kampusnya, tidak ada label halal, alias menunya bercampur dengan yang tidak halal.

Pada bulan pertama dan kedua dirinya menetap di Inggris, ada cerita menarik yang melibatkan AFZ dengan sebuah restoran ala Chinese di kota Birmingham. Itu adalah restoran yang sangat sering dikunjungi mahasiswa-mahasiswa yang tinggal di Birmingham, dan warga Birmingham pada umumnya, tak terkecuali orang-orang muslim. Harganya terjangkau dan rasanya memang enak. Bahkan, restoran tersebut sampai direkomendasikan oleh bapak-bapak, yang juga seorang muslim, sebut saja namanya pak T.

Namun, tiba-tiba muncul rasa bimbang kala melihat terdapat menu babi di daftar menunya. AFZ yang kala itu masih agak bingung perihal konsep makanan halal-haram dalam Islam, akhirnya memutuskan untuk tetap makan di sana, dan menu pertamanya adalah nasi goreng udang. Ia bertanya kepada pelayan sebelum memesan,”(menu) ini pakai babi gak?"

Pelayannya berkata,"tidak".

Tetap masih ada rasa was-was dalam benak AFZ karena pelayan tersebut nampak tidak begitu fasih berbahasa Inggris. Ya, tipikal orang-orang Asia Timur yang malas belajar bahasa Inggris, walau telah menetap di sana. Akan tetapi, jawaban si pelayan, setidaknya, dapat membuat AFZ sedikit merasa aman untuk tetap makan di sana. Walaupun, ia mengakui bahwa belum sepenuhnya benaknya terasa lega,”ada semacam guilty pressure (pada saat itu), enak sih tapi (ada perasaan) lebih baik gak makan di situ”.

Pada saat hari terakhir kalinya ke sana, AFZ mencicipi salah satu menu yang direkomendasikan oleh pak T. Waktu itu, ia tidak sendirian, melainkan bersama teman sesama muslimnya yang lain. Temannya pun bertanya,"itu halal ya?"

AFZ hanya dapat menjawab,"gak tahu deh, kayaknya halal, soalnya direkomendasiin oleh pak T sih, hehe".

Menurut penuturan AFZ, saat masa-masa 1-2 bulan pertama di Inggris, hal semacam ini kerap terjadi. Ia dan beberapa rekannya (yang beberapa di antaranya sesama muslim), jika jalan-jalan ke kota lain jarang memperhatikan ada/tidaknya label halal pada restoran yang akan mereka masuki.

“Kayak restoran pizza, masuk ya masuk aja. karena dulu prinsipnya adalah kalau ada babi, ya udah, yang penting kita gak pesan itu dan bilang bahwa kita muslim dan gak pesan makan yang ada kandungan itu, berarti halal. Dulu, kita mikirnya gitu,” kata AFZ.

Kemudian, masih di periode 1-2 bulan pertama, ada cerita menarik mengenai supermarket di sekitar tempat tinggalnyaNama supermarket itu adalah Tesco, yang merupakan salah satu franchise supermarket dengan butcher di dalamnya. Jadi, mereka menjual bahan makanan mentah. AFZ biasa membeli ayam mentah di sana. Uniknya, di kota lain, franchise Tesco tersebut memiliki ayam bersertifikasi halal tapi tidak dengan franchise di kota Birmingham tersebut. Alhasil, AFZ tidak pernah membeli ayam dalam jumlah banyak.

Untuk beef (daging sapi), AFZ malah terkesan menghindari,”gua menghindari beef karena emang gua gak terlalu suka dan takut aja sih, takut dimanipulasi. Jadi, paling gua lebih sering beli ikan, udang, dan seafood. Kalau seafood kan pasti halal”.

FYI: semasa di Inggris, hingga sekarang memasuki bulan ke-6, AFZ lebih suka masak sendiri daripada beli makanan jadi karena budget-nya dapat lebih murah.

Tesco (sumber birminghammail.co.uk)
Tesco (sumber: birminghammail.co.uk)
“Intinya bulan 1 dan 2 itu, gua kalau mau makan, ya makan aja. Tidak melihat label halal, makan dengan prinsip asalkan tidak pesan babi. Jika di restoran itu ada menu babi, cukup bilang kita (adalah) muslim dan kita gak makan babi. Udah selesai. Aman. Termasuk juga tidak memperhatikan daging yang dijual para butcher. Prinsip halal atau tidaknya hanya melihat pada babi,” lanjut AFZ.

PERIODE BULAN KE-3 DAN KE-4
Memasuki bulan ke-3 dan ke-4, awalnya, AFZ masih seperti di bulan pertama dan kedua. Pengalaman menarik yang mengubah cara pandang dan pola pikirnya tentang makanan halal terjadi di bulan Desember 2016. Saat itu, ia bersama pacar, dan 3 orang teman perempuannya pergi ke Edinburgh (Skotlandia).

Saat itu malam telah larut dan kondisi perut sedang sangat lapar. Mereka memutuskan masuk ke sebuah restoran ala Chinese. Di restoran yang mereka masuki itu, menunya memakai huruf Cina. Ada juga sih translasi bahasa Inggris-nya tapi tetap tidak membantu untuk mengetahui apa saja bahan-bahan makanannya. AFZ dan 3 orang teman perempuannya memesan sup tanpa daging, sedangkan pacar dari AFZ memesan menu bernama “singapore fried rice”.

Ada yang aneh di pandangan AFZ kala melihat sang kekasih menyisihkan ‘sesuatu’ dari piringnya. Itu semacam daging.

"Kenapa gak dimakan? gak suka?" tanya AFZ sambil menyemili udang di dalam nasi goreng pacarnya.

"Hmm... gak tahu, kayaknya ada yang aneh,” jawab sang pacar, yang kita sebut saja FRD.

Satu hal yang memberikan sedikit pengetahuan kepada AFZ untuk urusan perdagingan adalah fakta bahwa ia seorang penggemar acara reality show, masterchef US. Kebanyakan menu di acara itu menggunakan daging babi. Jadi, AFZ dapat tahu secara pasti bagaimana serat dan bentuk daging babi. Mulai timbul lah rasa curiga ketika AFZ semakin memperhatikan daging yang disisihkan pacarnya.

"Stop deh makannya. Berhenti. Coba tanya dulu ini apa," kata AFZ pada pacarnya.

"Di menunya sih nasi sama udang doang," jawab FRD.

AFZ pun berinisiatif memanggil pelayan dan bertanya dalam bahasa Inggris mengenai daging yang ada di piring makan FRD. Si pelayan yang terlihat tidak begitu paham bahasa Inggris pun menjawab dengan agak terbata-bata,”beef”.

Rasa lega menghampiri. Akan tetapi, itu tidak berlangsung lama karena tiba-tiba si pelayan melanjutkan jawabannya,”…pork!

Oh sh*t.

Mereka langsung shock setengah mati. Kalimat istighfar mengalir ratusan kali. Kondisinya, FRD sudah memakan sedikit daging tersebut (secara tidak sengaja). Begitu juga AFZ, walaupun hanya makan udang saja, tetapi minyak dan lemak babinya ada kemungkinan turut tercampur.

Kejadian tersebut membuat AFZ dan FRD berinisiatif untuk melakukan konsultasi ke salah seorang ustadz. Sang ustadz berkata bahwa yang harus dilakukan adalah banyak-banyak istighfar dan segera bertaubat. Walaupun kondisinya tidak sengaja termakan, tetap harus bertaubat dan introspeksi diri karena daging babi itu sudah terlanjur masuk ke tubuh kita, dan secara tidak langsung, telah menjadi bagian dari daging kita. Dosanya nempel dan dibawa kemana-mana.

FYI: dalam acara reality show Korea Selatan yang bertajuk “My Neighbor, Charles” diperlihatkan pada episode 78 terdapat 2 orang anak Afghanistan yang tidak sengaja mengonsumsi babi di sebuah restoran, di Korea Selatan. Sesampainya di rumah, mereka berdua langsung melakukan shalat taubat, meminta ampunan Allah SWT.

Berikut ini adalah nasehat dari sang ustadz:
- Pertama, untuk yang tidak sengaja harus mengakui kesalahan, insyaf, taubat, dan berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan itu lagi.

- Kedua, menghindari tempat-tempat makan yang tidak berlabel halal. Resikonya adalah mungkin pelayan dan pemilik restoran tidak semuanya mengerti tentang ajaran agama Islam seperti apa, terutama untuk konsep halal dan haramnya suatu makanan. Ditambah lagi, tidak semua orang bertindak jujur (walaupun di negara maju).

- Ketiga, Allah SWT. melihat kita kapanpun dan dimanapun, serta Allah SWT. juga Maha Tahu. Jadi, kalau niat kita dari awal jelek seperti, "eh gapapa kali ya nih, gak ada logo halal tapi gak makan babi,” ya tetap saja Allah tahu niat kita bagaimana dan Allah tahu bagaimana niat kita yang memang sangat ingin mencari makanan halal.

- Terakhir, AFZ bertanya,”bagaimana jika hanya restoran itu (tidak berlabel halal) yang sedang buka dan tidak menemukan halal places?” sang ustadz menuturkan bahwa itulah yang disebut perjuangan seorang muslim. Ketika kita mencari makanan halal, tetapi rasanya sulit sekali, maka perjuangan mencarinya dapat menjadi pelebur dosa. Entah dosa yang mana, hanya Allah yang tahu. Memang seperti itulah jalannya. Intinya, dapat menggugurkan dosa kalau kita tetap kekeuh, "pokoknya harus makanan halal!"

Dari kejadian tersebut, AFZ dan FRD akhirnya bertekad,"gak bisa nih kayak gini terus, gak boleh nambah dosa, lagi kuliah kok nambah dosa".

Kalau bicara halal dan haramnya suatu makanan dalam hukum Islam, ternyata memang tidak hanya terfokus pada daging babi saja. Cara penyembelihan hewan pun harus sesuai hukum Islam agar hewan yang nantinya dimakan itu dapat masuk ke dalam kategori halal.

Keesokan harinya, mereka ber-5 jalan-jalan lagi. Kali ini di daerah Roya Mile, dan kelaparan (lagi). Tiga orang teman perempuan AFZ memutuskan untuk makan di restoran sekitar tempat daerah tersebut tapi tidak berlogo halal. AFZ dan FRD, berbekal pengalaman pada malam sebelumnya dan penuturan sang ustadz, menolak untuk makan di tempat yang sama dengan mereka.

Beh, Ton itu pertama kalinya orang udah kelaparan banget dan tempat makanan halal jauh banget, 40 menit jalan kaki. Ada sih yang deketan, 15 menit jalan kaki, tapi pada tutup semua. Jadi, kalau di sini (Inggris), tempat makan atau mall ada jam-jam beroperasinya sendiri, gak kayak di Indonesia dari pagi sampai malam banget masih buka. (Di Inggris) Jam 12 dan Jam 1 baru buka. Atau jam 10 buka, terus jam 8 tutup. Kalau weekend jam 4 udah tutup,” kata AFZ saat penulis wawancarai.

Jalanan Edinburgh (sumber independent.co.uk)
Jalanan Edinburgh (sumber independent.co.uk)
Aplikasi MuslimPro, yang biasa mereka manfaatkan untuk mencari tempat makan halal pun, pada hari itu, tak mampu membantu banyak. Bayangkan, 6-7 restoran yang direkomendasikan aplikasi tersebut semuanya tutup. Hal yang membuat perjalanan mereka terasa berat dan penuh perjuangan adalah jalanan Edinburgh yang bentuknya naik-turun, tanjakan-turunan, tebing, dan bukit-bukit.

Aplikasi MuslimPro
Download yuk, guys! :D
Akhirnya, di restoran ke-8 yang mereka kunjungi, mereka menjumpai restoran Kurdish (IPB), yang menjual menu semacam fried chicken, kentang goreng, burger, nasi briyani, dan kebab. AFZ yang semula kecewa karena restoran yang dijumpai bukanlah restoran yang ia harapkan, berubah 180 derajat menjadi takjub.

“Gua pesan kentang goreng sama fried chicken, awalnya, gua pikir rasanya akan keasinan, seperti restoran Kurdish di Birmingham tapi ternyata rasanya enaaaaakkkk banget! Gua merasa sangat bersyukur karena setelah menempuh perjalanan yang jauh banget, lapar, haus tapi dengan niat benar-benar mencari makanan halal sesuai (ajaran) Islam, akhirnya, gua menemukan restoran ‘fried chicken ala-ala’ yang rasanya 3 kali lebih enak dari yang biasanya sering gua beli (di Birmingham). Pelayannya juga ramah banget dan kita dikasih bonus lebih banyak di kentangnya”, ujar AFZ penuh rasa syukur.

Dan juga sebenarnya, destinasi perjalanan mereka selanjutnya adalah University of Edinburgh, yang mana hanya 5 menit dari restoran Kurdish AFZ dan FRD makan. Pelajaran yang didapat AFZ dan FRD hari itu adalah setelah penuh perjuangan mencari makanan halal (diiringi niat karena Allah SWT.), maka ketika menemukannya, rasa makanannya dapat terasa 3 kali lebih nikmat dari yang biasanya.

University of Edinburgh (Sumber www.ed.ac.uk)
University of Edinburgh (Sumber www.ed.ac.uk)
PERIODE BULAN KE-5 DAN KE-6
Setelah mengalami pengalaman berharga tersebut, AFZ pun semakin bersemangat untuk meluruskan niatnya, hanya mengonsumsi makanan yang dijamin kehalalannya. Ia juga bercerita bahwa, sebenarnya, di Birmingham ada supermarket halal bernama "Al Halal". Akan tetapi, jaraknya sangat jauh dari kosan AFZ. Perlu waktu 56 menit dengan kendaraan umum, seperti bis. Namun, sebelumnya harus jalan kaki dulu ke bus stop selama 14 menit, baru kemudian setelah itu naik bis, transit, lalu sambung bis lagi. Opsi lain adalah naik kereta dengan 4 kali transit.

AFZ juga bercerita bahwa ia juga terbilang sering mengunjungi kota Sheffield, kota tempat FRD berkuliah.

“Gua pulangnya kalau gak sabtu, ya minggu. Sistem kuliah gua one week on, one week off. Kalau lagi gak kuliah, gua ke sana. Kalau pulang sabtu, gua belanja dulu di Tesco (yang ada di kota Sheffield) untuk beli daging ayam berlogo halal. Itu ada di sekitar kampus cowok gua. Atau kalau mau, di daerah perkotaan Sheffield juga banyak yang jual daging halal. Jadi, gua selalu beli stok ayam di hari sabtu untuk bekal gua ke depannya selama kuliah dan makan malam,” ujar AFZ.

“Kalau gua gak sempat ke sana, biasanya gua beli seafood mentah di supermarket (dimanapun) karena sudah pasti halal. Yang sekarang gua sedang pikirkan, ketika gua gak ke sheffield karena banyak tugas, harus gimana ya. Bisa sih gua beli seafood aja, bukan ayam tapi gua lagi pengen banget beli ayam karena ayam itu lebih praktis. Tinggal ungkep, taruh di kulkas lalu tinggal goreng kalau mau dimakan. Baru semalam banget gua cari butcher halal di sekitar kampus gua, Selly Oak dan gak ada. Paling dekat itu naik kendaraan umum 48 menit, jalan kaki 1 jam 30 menit,” curhat AFZ.

Ya, memang di situ lah letak perjuangannya. Sebagaimana kata sang ustadz bahwa perjuangan keras mencari makanan halal, yang penuh suka dan duka itu, dapat menjadi penggugur dosa kita. Belanja di supermarket pun harus lebih jeli ketika membeli produk makanan kemasan, terutama masalah gelatin. Membaca dengan cermat label pangan pada kemasan dapat menjadi solusi.

Terakhir, AFZ berpesan,”Janganlah kita sampai membeli makanan tanpa mempertimbangkan halal atau tidaknya makanan tersebut. Ada tidaknya kandungan babi bukan (satu-satunya) patokan. Orang (pemilik dan pelayan restoran/toko/supermarket) belum tentu mau jujur dan paham ajaran agama Islam”.

You Might Also Like

0 Leave comment