Tips-Tips Mencari Makanan Halal di Korea Selatan ala Mahasiswa
14:08:00
Meledaknya
fenomena Kpop dan Kdrama seolah dijadikan salah satu kesempatan oleh negara
Korea Selatan untuk mempromosikan penganan khas mereka. Adegan-adegan para
artis Kpop dan Kdrama makan makanan khas Korea dalam suatu adegan film, drama,
ataupun reality show membuat air liur
para penontonnya menetes. Efeknya dapat dilihat di Indonesia, dimana
restoran-restoran yang menjual menu khas Korea Selatan begitu ‘menjamur’.
Nah,
tapi sebenarnya apakah makanan-makanan tersebut halal? Okelah, kalau di
Indonesia mungkin sebagian besar dari makanan-makanan tersebut sudah
disesuaikan dengan kondisi negara Indonesia yang sebagian besar penduduknya
adalah muslim. Akan tetapi, bagaimana dengan di Korea Selatan sendiri?
Konsephalal/haram di Agama Islam telah dituangkan di dalam Al-Qur’an bahwa makanan
dan minuman yang diharamkan adalah:
1.
Bangkai
2.
Darah
3.
Babi
4.
Binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah SWT
5.
Khamr atau minuman yang memabukkan
Mari
kita simak bersama pengalaman dan tips-tips mencari makanan halal di Korea
Selatan dari rekan penulis, yaitu “SAN” yang sempat menimba ilmu di kota Seoul,
tepatnya di Hanyang University, jurusan Food and Nutrition selama 1 semester
(sekitar 6 bulan).
![]() |
Penampakan Hanyang University, Seoul Campus (Sumber: razesywe.files.wordpress.com) |
Bagaimana caranya
lu mendapatkan makanan halal di Korea Selatan?
Pertama,
gua masak sendiri karena gua tahu dan gua masak sendiri, sudah pasti halal dong. Beli bahan makanannya di
supermarket. Selain di supermarket biasa, di daerah namanya "Itaewon",
sekitar masjid, itu banyak supermarket halal. Disitu banyak produk Indonesia
juga. Di situ jual juga daging sama ayam mentah yang halal. Mie instan, cemilan
Indonesia, sambal, bumbu masakan (yang berlabel halal) juga ada. Gua suka
belanja di situ. Di daerah situ doang sih, Itaewon.
Jadi memang jual
segala macam bahan makanan impor ya?
Iya,
bahkan ada tempe beku juga diimpor dari Indonesia dan itu enak loh, benar-benar tempe (seperti di
Indonesia) haha… gua senang banget menemukan itu, jadi lumayan mengobati
kerinduan haha...
Nah, kalau lu
beli di supermarket biasa, bagaimana caranya lu bisa tahu bahwa bahan makanan
dan bumbu yang mau lu beli adalah halal?
Gua
gak pakai bumbu, paling hanya garam. Kecap dan bumbu-bumbu instan lainnya gua
beli di Itaewon. Sayuran ya sudah pasti sayur ya, telur, seafood paling ya (yang sudah pasti halal). Daging merah dan ayam
pasti gua belinya di supermarket yang ada di Itaewon (yang ada jaminan
halalnya).
Jadi, memang
sering belanjanya ke sana ya? Berapa lama perjalanan antara kosan lu ke
Itaewon?
Dari
Hanyang (daerah sekitar kampus SAN) ke Itaewon naik subway sekitar 40-60 menit
karena harus ganti line subway 2
kali. Jadi, tergantung nunggu keretanya juga lama atau tidak. Gua gak terlalu
sering ke Itaewon. Oh iya, ada juga tempat turis (mancanegara) berbelanja,
namanya Myeongdong. Di sana juga ada banyak snack-snack
halal. Sekitar 20 menit dari kosan gua.
Oh begitu, jadi
sekalinya belanja di Itaewon sekaligus banyak gitu ya? Berapa kali sebulan?
Sebulan
sekali lah. Kalau ke supermarket biasa sering sih, sekitar seminggu sekali.
Tadi lu bilang di
dekat Itaewon itu ada masjid, berarti memang salah satu tempat yang sering
dikunjungi muslim ya? Kalau restoran-restoran gitu ada juga?
Iya,
begitulah. Di sekitar situ juga banyak banget restoran halal, ada masakan khas
Indonesia, Malaysia, Timur Tengah, masakan Korea juga ada. Tapi mahaaaalll
sekali makan bisa Rp. 150.000,- satu porsinya. Lu gak akan makan itu setiap
hari dan apalagi itu adanya di Itaewon, effort
(dan ongkos juga) harus ke sana naik subway.
Alternatif lainnya, mau gak mau, ke tempat makan di sekitar kosan dan tanya, “ini
ada babi atau gak?” atau “pakai bahan-bahan yang mengandung babi gak?”, kalau
aman, ya sudah, jadi sering-sering makan di situ haha…
Eehh.. buset..
lebih hemat masak ya, haha…
Hahaha…
iya, lebih hemat masak. Tapi, setelah gua pindah kosan, gua jadi jarang masak
soalnya satu dapur dipakai untuk 30 orang lebih. Kalau di tempat (kosan) lama hanya
gua doang yang masak.
Serius itu 30
orang satu dapur?
Serius,
hahaha... semakin lama, gua semakin jarang masak juga karena gua sudah semakin
banyak tahu juga tempat makan mana saja yang aman.
Orang Indonesia
kan biasanya suka bawa perbekalan sendiri tuh kalau jalan-jalan atau memutuskan
untuk menetap di luar negeri, apa lu juga begitu awalnya?
Bawaaa
hehe… Mie instan, abon, sarden, bumbu nasi goreng. Lama kelamaan habis lah. Namun,
untungnya gua menemukan supermarket halal itu (di Itaewon). Harga di situ gak
terlalu mahal, contohnya mie instan kalau gak salah ingat sekitar Rp. 20.000,-.
Kalau di Indonesia memang terdengar mahal tapi di sana Rp. 20.000,- masih
terjangkau.
Kalau di kantin
kampus lu bagaimana?
Di
kantin kampus gua setiap hari selasa dan kamis ada makanan halal. Harganya agak
lebih mahal. Kalau yang biasanya (makanan jenis itu) harganya Rp. 40.000,-
(jika dikonversi ke rupiah), tetapi di kantin itu bisa Rp. 60.000,- seporsi. Masih
lumayan terjangkau. Tapi hanya selasa dan kamis, dan biasanya hanya buat lunch atau early dinner (jam 4-5 sore) tapi cepat banget habisnya memang.
Kalau di hari
selain selasa dan kamis bagaimana? Apa bawa makanan dari luar?
Oh,
enggak. Tetap makan di kantin kampus. Jadi, konsep kantin di kampus gua itu
bentuknya dalam satu hall terdapat 3
bagian, misalnya bagian A, B, dan C. Sistemnya:
1.
Setiap hari ada 3 menu berbeda dan ganti-ganti. Kita pilih di antara 3 menu
itu;
2.
Cara memilihnya lewat vending machine,
misalnya kita pilih menu B, bayar dulu, lalu dapat tiket B;
3.
Pergi ke tempat yang jualan menu B, lalu tukarkan tiketnya dengan makanan B.
Nah,
untuk makanan halal itu memang hanya ada di hari selasa dan kamis, dan adanya
pada menu C. Pastinya, gua pilih menu C di hari-hari itu. Kalau di hari lain,
gua pilih menu yang gak ada babinya. Dengan catatan, tetap tanya dulu ke
pedagang-pedagangnya atau, seringnya, gua beli menu yang sudah jelas, seperti jjigae (semacam sup).
![]() |
Penampakan Kantin Hanyang University (Sumber tong.visitkorea.or.kr) |
Oke, itu di
kampus tapi kalau di tempat makan yang ada di sekitar kosan lu memang tipe yang
“free pork restaurant” atau yang penting jual menu non babi saja? Kira-kira
berapa menit kalau jalan kaki?
Kalau
bisa ya (gua cari) free pork restaurant tapi lama-lama gua jadi
fleksibel, yang penting jual menu non babi :( tapi tetep tanya sih ada babi apa
gak di menu gua. Soalnya, gua sering makan bareng teman-teman, dan yang muslim
pasti gua doang. Mereka considerate
(mengerti keadaan gua) sih tapi tetap saja ada rasa gak enak gitu sama mereka.
Dan karena daerah kosan gua adalah daerah tempat makan, jadi hanya perlu waktu
sekitar 2 menit jalan kaki.
Nah kalau
menggarisbawahi kalimat "yang muslim pasti gua doang", seperti yang
lu bilang tadi. Bukannya kampus lu itu semacam international university ya? Komunitas muslim gitu gak ada?
Ada,
Ton (mahasiswa-mahasiswi muslim) tapi teman-teman yang sering gua ajak bergaul,
gak ada yang muslim hehehe…Komunitas muslim gak tahu apakah ada atau gak,
mungkin saja ada.
Oh, begitu
ceritanya.
Iya.
Kalau yang gua tahu, gua pernah diceritain, kalau orang Pakistan itu seperti
ada “gengnya” sendiri, (terutama) cowok-cowok Pakistan. Mereka di sana benar-benar
yang taat banget (dalam menjalankan ajaran Islam). Mereka setiap hari masak di dorm-nya ramai-ramai. Masakan korea pun
gak pernah mereka cobain karena takut ada yang gak halal. Seketika itu gua
berasa bejat banget hahaha…
Nampaknya orang
Pakistan memang seperti itu ya. Jadi ingat film 99 Cahaya Langit Eropa, ada
karakter Pakistan yang benar-benar stick
to the rules sama ajaran Islam. Ngomong-ngomong, sebelumnya tuh gua berpikir
kalau ke negara yang muslimnya minoritas, pasti bergaulnya akan lebih sering
sama yang sesama muslim biar gak bingung nyari makanan halal haha…
Pasti
kalau ketemu sesama orang muslim, ada ikatan tertentu. Hanya kadang mereka
punya kelompok sendiri, juga jarang ketemu karena gak satu gedung. Ya, berteman
sama siapa saja sih hehehe… tapi gua masih tetap suka bergaulnya sama orang Asia,
gak sampai orang-orang bule (Eropa/Amerika Serikat) entah kenapa, kayaknya sudah
beda banget.
Faktor Culture ya... Nah, gua juga mikirnya, kalau
gak bergaul dengan sesama muslim, ya sama orang Asia haha…
Iya
betul hehe... Mereka semua baik kok, hanya tetap beda saja (rasanya).
Oke, hmm mau
sedikit memperjelas lagi. Kalau menurut lu, pada waktu itu, kriteria tempat
makan 'yang aman' itu yang seperti apa dan bagaimana?
Ini
versi gua yah, Ton, mungkin gua salah tapi mohon di-judge dengan bijaksana hahaha…
Pertama,
gua harus tahu dulu makanan Korea terbuatnya dari apa, seperti
"jjigae", (kimchi jjigae, sundubu jjigae, doenjang jjigae) itu gak mungkin
ada dagingnya. Kaldunya, kalau ikutin resep sih pakai kaldu sayuran, jadi oke
(untuk dikonsumsi muslim). Jadi, kalau pun di satu restoran ada menu babi tapi kalau
ada menu jjigae (yang tanpa daging) juga, maka gua beli itu (menu jjigae yang
tanpa daging).
![]() |
Doenjang Jjigae (Sumber: Wikipedia) Sejenis sup khas Korea yang bahan-bahannya terdiri dari kacang kedelai fermentasi dan sayuran, sea food, tahu |
![]() |
Kimchi Jjigae (Sumber: Wikipedia) Sejenis sup khas Korea yang bahan-bahannya terdiri dari kimchi, aneka sayuran, tahu, dan terkadang sea food |
![]() |
Sundubu Jjigae (Sumber: Wikipedia) Sejenis sup khas Korea yang bahan-bahannya terdiri dari tahu, jamur, bawang bombay, sea food. Tanpa Kimchi. |
Kedua,
ada juga kimbab (semacam sushi korea)
atau onigiri, yang isinya hanya telur atau tuna, itu aman. Kalau di restoran fast food, tuna burger itu juga aman. Untuk menu yang berhubungan dengan mie,
walaupun gak pakai daging babi, sebaiknya tetep tanya dulu pakai kaldunya apa.
Pokoknya bertanya
dan agak cerewet itu penting ya? Jadi, ingat acara “My Neighbour, Charles”.
Ya,
betul. Bertanya itu penting (jangan malu). Kalau gak, print aja gambar babi yang ada tanda silangnya. Jadi, setiap ke
restoran, gak perlu takut language
barrier, cukup tunjukkan saja gambar itu.
Dan
juga, sebenarnya lebih baik lu punya teman makan sesama muslim biar jadi lebih
terjaga gitu. Kalau gak punya, nanti case-nya
jadi seperti gua tadi. Gua tetap memegang teguh keyakinan, dan teman-teman gua
sebenernya considerate tapi mau gak
mau lama-lama jadi lebih "fleksibel". Apalagi, gak hanya 1-2 minggu saja
tinggal di sana tapi berbulan-bulan. Walau terkadang, sesama muslim juga gak
begitu menjamin sih haha... Beberapa kasus malah aliman gua, hehe…
Ada saran
tambahan?
Kalau
mau tinggal lama di Korea, penting juga sahabatan sama orang Korea asli karena
dia bisa bantu kasih kita petunjuk tempat makan yang aman. Paling aman sih
masak sendiri. Sudah paling benar itu.
FYI: My Neighbour, Charles adalah reality show di TV Korea Selatan yang membahas kehidupan masyarakat WNA di Korea Selatan. Pada episode 27, diceritakan kisah hidup dari keluarga muslim Uzbekiztan, dengan kepala keluarga bernama Mahmoud, hidup penuh suka dan duka demi menjual dan mencari makanan halal di Korea Selatan.
Dari
pengalaman SAN di atas dapat kita tarik beberapa poin-poin yang menjadi ‘kunci’
untuk mencari makanan halal di Korea Selatan. Beberapa poin akan sama seperti
pengalaman dari AK di negara Belanda tapi ada juga yang berbeda, di antaranya
adalah:
1.
Bagi kita yang muslim, jika memutuskan untuk menetap di Korea Selatan, ada
baiknya kita belajar masak terlebih
dahulu. Ini adalah salah satu cara
terhemat mendapatkan makanan halal di sana.
2.
Membeli bahan makanan di toko/supermarket
yang bersertifikasi halal atau dimiliki oleh orang muslim karena untuk
bahan makanan, seperti ayam dan sapi, dapat dikategorikan menjadi tidak halal
jika proses penyembelihannya tidak menggunakan hukum Islam.
3.
Jika membeli bahan makanan di toko/supermarket yang tidak secara khusus menjual
bahan makanan mentah yang halal, maka pilihlah bahan makanan mentah yang memang
halal, secara hukum Islam tanpa proses penyembelihan, seperti seafood dan
sayur-sayuran.
4.
Rencanakan belanja bahan makanan dengan bijak
dan cermat (jumlah dan budget-nya)
karena jika kosan kita jauh dari pusat makanan halal, seperti Itaewon, maka
kita tidak mungkin dapat ke sana setiap hari.
5.
Membawa stok makanan dari Indonesia
juga dapat membantu kehidupan kita di awal-awal kedatangan kita di Korea
Selatan. Jika masih dalam proses pencarian makanan halal, setidaknya kita masih
ada stok makanan halal dari Indonesia di home
stay kita.
6.
Memanfaatkan kantin kampus. Selama
kantin kampus kita masih menyediakan makanan halal atau setidaknya aman dengan
harga terjangkau, maka tidak ada salahnya dimanfaatkan untuk lunch atau early dinner.
7.
Bertanya itu penting, jangan malu.
Hak kita untuk mengetahui apa saja yang terkandung dalam makanan yang hendak
kita konsumsi. Jika sekiranya mengandung sesuatu yang diharamkan, maka kita
dapat mencari makanan di tempat lain.
FYI: ada beberapa jenis Kimchi Jjigae dan Sundubu Jjigae yang mencampurkan babi dalam resepnya. Oleh sebab itu, penting untuk kita bertanya apa saja bahan-bahan yang ada di dalam Jjigae atau setidaknya bertanya adakah campuran babi atau alkohol di dalamnya.
8.
Memanfaatkan teknologi sebagai solusi language barrier. Banyak orang Korea
yang tidak jago berbahasa Inggris, kita pun mungkin bingung berbahasa Korea.
Solusi print gambar babi/alkohol
dengan tanda silang bisa jadi solusi atau mungkin ga usah di-print tapi bisa dengan menunjukkannya
lewat handphone.
9.
Cari teman (seperjuangan) sesama muslim
agar dapat saling berbagi referensi.
10.
Jangan lupa bahwa kita juga harus
berteman dengan orang Korea asli karena ia dapat membantu kita menunjukkan
makanan yang aman bagi kita, kaum muslimin.
2 Leave comment