Apa itu Pangan Rekayasa Genetika (Genetically Modified Food)?

17:16:00

Pada bahasan penulis kali ini penulis ingin membahas tentang Genetically Modified Food (GMF) atau dalam bahasa Indonesia biasa disebut Pangan Rekayasa Genetika atau Pangan Transgenik. Cukup menarik karena faktanya pangan transgenik ada di sekitar kita, termasuk tempe, tahu yang kita makan. Ya, karena kedelai kita impor dan biasanya bahan pangan yang kita impor dari Amerika adalah pangan transgenik.

Karena mungkin cakupannya cukup luas dan ini merupakan Blog tentang Gizi dan Kesehatan, jadi penulis hanya menfokuskan bahasan pada rekayasa genetika makanan, yuk kita bahas!


Pertama-tama mari kita kenali asal dari GMF itu sendiri, yaitu dari Genetically Modified Organisms (GMO) atau Organisme Rekayasa Genetika, yaitu organisme yang materi genetiknya (DNA) telah diubah atau dimodifikasi dengan cara yang tidak alami, misalnya melalui pengenalan gen dari organisme yang berbeda. Teknologi ini sering disebut "bioteknologi modern" atau "teknologi gen", kadang-kadang juga "teknologi DNA rekombinan"  atau "rekayasa genetika". Hal ini memungkinkan gen individu terpilih dapat ditransfer dari  satu organisme ke yang lain, juga antar spesies yang tidak terkait satu sama lain (WHO, 2002). 

Intinya adalah dapat memindahkan gen-gen dari satu spesies mahluk hidup ke spesies yang lain, ataupun memodifikasi gen-gen dalam satu spesies. Produk transgenik mencakup obat-obatan (sebagai alat diagnosis dan obat seperti misalnya insulin), tanaman yang tahan hama, penyakit dan herbisida, enzim untuk pengolahan makanan (keju), bahan bakar dan pelarut (ethanol). Tanaman transgenik untuk bahan pangan yang telah dikembangkan antara lain: beras, kedelai, kentang, jagung, minyak lobak, tomat, bit gula dan labu (Putri, 2014).

Pangan atau Makanan Rekayasa genetika adalah makanan yang berasal dari organisme yang berasal dari material genetik (DNA) yang telah dimodifikasi dengan cara yang tidak alami, misalnya melalui pengenalan gen dari organisme yang berbeda. Sebagian tanaman transgenik telah dikembangkan untuk meningkatkan hasil pertanian, melalui pengenalan resistensi terhadap penyakit tanaman atau peningkatan toleransi herbisida (WHO, 2014).

Istilah makanan yang dimodifikasi secara genetik (juga dikenal sebagai biotek atau makanan rekayasa genetika) mengacu pada tanaman tanaman yang telah dimodifikasi di laboratorium untuk meningkatkan sifat-sifat yang diinginkan, seperti resistensi terhadap herbisida atau kandungan gizi ditingkatkan (WebMD, 2014).

Tujuan awal untuk mengembangkan tanaman berdasarkan organisme rekayasa genetika adalah untuk meningkatkan perlindungan tanaman. Tanaman rekayasa genetika saat ini di pasar terutama ditujukan pada peningkatan tingkat perlindungan tanaman melalui pengenalan perlawanan terhadap penyakit tanaman yang disebabkan oleh serangga atau virus atau melalui peningkatan toleransi terhadap herbisida (WHO, 2002).

Namun, Produk Pangan dari Rekayasa Genetika sendiri sampai sekarang masih mengundang banyak kontroversi. Itu dikarenakan terdapat sejumlah manfaat yang menguntungkan dan dampak yang merugikan. Penulis akan coba merangkum dari berbagai sumber perihal manfaat dan dampaknya, sebagai berikut:

Potensi manfaat menguntungkan dari produk rekayasa genetika meliputi (WHO, 2002; MedlinePlus, 2012; Putri, 2014; WebMD, 2014):
  • Zat gizi lebih banyak
  • Makanan memiliki rasa lebih enak,
  • Lebih tahan penyakit, hama, virus, dan kekeringan (cuaca),
  • Penurunan penggunaan pestisida untuk beberapa produk pertanian,
  • Toleransi herbisida
  • Peningkatan pasokan makanan dengan mengurangi biaya dan umur simpan lebih lama,
  • Cepat tumbuh tanaman dan hewan,
  • Makanan dengan sifat yang lebih diinginkan, seperti kentang yang menyerap lebih sedikit lemak jika digoreng,
  • Makanan obat yang dapat digunakan sebagai vaksin atau obat lain,
  • Pemanfaatan rekayasa genetik dalam pembentukan pangan transgenik, dianggap sebagai terobosan yang brilian dalam menghadapi kerawanan pangan di masa depan yang dapat diprediksi dari gejala-gejala ketidaktentuan cuaca di beberapa belahan dunia.

Walaupun dikatakan Pangan Rekayasa Genetika dapat membantu kelaparan dunia, namun ada beberapa pihak yang tidak sependapat. Pendapat tersebut menyatakan bahwa masalah produksi pangan umumnya tidak bersumber dari biologi, melainkan terletak pada bidang-bidang seperti kurangnya akses pasar, beban utang negara-negara berkembang, atau kurang berkembang pengolahan makanan dan transportasi infrastruktur, tidak ada yang teknologi GM akan melayani untuk mengatasi (Harvard, 2012).

Potensi dampak merugikan dari pangan rekayasa genetika meliputi (WHO, 2002; MedlinePlus, 2012; Harvard, 2012; WebMD, 2014).:
  • Tanaman atau hewan yang dimodifikasi mungkin memiliki perubahan genetik yang tak terduga dan berbahaya bagi kesehatan,
  • Organisme yang dimodifikasi dapat kawin silang dengan organisme alami tetapi dapat menyebabkan kepunahan organisme asli atau efek lingkungan yang tak terduga lainnya,
  • Tanaman mungkin kurang tahan terhadap beberapa hama dan lebih rentan terhadap orang lain,
  • Komponen tertentu dianggap dapat memberikan alergen dan racun ke makanan,
  • Kecenderungan untuk memprovokasi reaksi alergi (alergenisitas)
  • Kontaminasi antara makanan yang dimodifikasi secara genetic modified dan non-genetic modified,
  • Resistensi antibiotik,
  • Berkaitan dengan stabilitas gen yang disisipkan
  • Mengubah kandungan zat gizi dari tanaman secara negatif (mengurangi),
  • Penciptaan "super" gulma dan risiko lingkungan lainnya,
  • Pangan rekayasa genetika juga dapat merusak keanekaragaman hayati, misalnya dengan kebutuhan terhadap penggunaan pestisida tertentu yang terkait dengan tanaman rekayasa genetika yang sangat beracun bagi banyak spesies, dan dengan penggunaan gen eksotis dan organisme ke dalam lingkungan yang dapat mengganggu komunitas tumbuhan alami dan ekosistem lainnya.

The Food and Drug Administration (FDA) mengatur produksi dan pelabelan makanan rekayasa genetika. Beberapa orang telah menyuarakan keprihatinan bahwa gen dari salah satu makanan yang dimasukkan ke dalam makanan lain dapat menyebabkan reaksi alergi. Misalnya, jika gen kacang dalam tomat, bisa seseorang dengan alergi kacang bereaksi terhadap tomat? Pada Januari 2001, FDA Pusat Keamanan Makanan dan Gizi Terapan mengusulkan bahwa pengembang makanan buatan mengirimkan informasi ilmiah dan keselamatan kepada FDA setidaknya 120 hari sebelum makanan dipasarkan (MedlinePlus, 2012).

Mengenai keamanan dari makanan rekayasa genetika individu harus dinilai pada kasus per kasus dan bahwa tidak mungkin untuk membuat pernyataan umum tentang keamanan semua makanan rekayasa genetika (WHO, 2002). Namun, belum ada pengujian yang memadai untuk menjamin keselamatan lengkap. Belum ada laporan penyakit atau luka akibat makanan rekayasa genetika. Setiap makanan baru rekayasa genetika harus dinilai secara individual (MedlinePlus, 2012). Maksudnya dinilai secara individual adalah sensitivitas setiap individu berbeda-beda, ini berkaitan dengan imunitas dan respon alergik.

Makanan rekayasa genetika saat ini tersedia di pasar internasional telah lulus penilaian risiko dan tidak mungkin untuk menimbulkan risiko bagi kesehatan manusia. Selain itu, tidak ada efek pada kesehatan manusia telah terbukti sebagai akibat dari konsumsi makanan tersebut oleh masyarakat umum di negara-negara di mana mereka telah disetujui. Penggunaan secara terus menerus penilaian risiko berdasarkan prinsip Codex, termasuk pemantauan post market, harus menjadi dasar untuk mengevaluasi keamanan makanan rekayasa genetika (WHO, 2002).

Uji imunitas apakah pangan itu membahayakan daya tahan tubuh atau tidak dan uji lain yang mendukung. Tahapan uji keamanan ini sesuai dengan UU Pangan No. 7/1996, dimana pasal 13 ayat 1 dan 2 mengatur kewajiban produsen untuk menguji keamanan pangan yang dihasilkan proyek rekayasa genetika sebelum diedarkan ke masyarakat. Setelah itu, tentu produk harus diberi label mengandung bahan transgenik atau tidak. BPOM harus segera membentuk divisi uji keberadaan dan keamanan produk berbahan transgenik, serta meminta produsennya mencantumkan identifikasi ini (Putri, 2014).

Membedakan pangan transgenik dan pangan alami dengan mata telanjang jelas sulit. Kecuali jika pangan transgenik tersebut memiliki ciri khas. Dengan begitu, satu-satunya cara bagi awam untuk mengenali produk transgenik ini yaitu dari label pada kemasan produk. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia memberikan petunjuk, bahwa besar kemungkinan suatu produk adalah penganan hasil rekayasa genetik jika produk tersebut tidak mencantumkan kandungannya secara eksplisit sebagai bahan organik (Putri, 2014).

Berikut ini penulis 'memampang' penjelasan dari acara Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII pada tahun 2005 yang juga membahas mengenai Pangan Rekayasa Genetika. Penulis ambil dari website IPB dan Kompas. Tentunya penulis tidak menyalin semua. Penulis hanya menyalin apa yang penulis pikir relevan dengan tema yang sedang penulis bahas pada postingan kali ini.

Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII menyatakan bahwa pangan rekayasa genetik dapat diterima dengan prinsip kehati-hatian, selektif, dan memerhatikan bio-etika sepanjang tidak membahayakan kesehatan dan lingkungan. Begitu juga biofortifikasi pangan melalui budidaya tanaman untuk meningkatkan kandungan dan mutu gizi pangan.    
WNPG VIII juga merekomendasikan untuk mengembangkan produk rekayasa lokal berdasarkan keragaman hayati lokal dengan tidak membahayakan kesehatan dan keragaman hayati, serta tidak menimbulkan ketergantungan ekonomi pada negara lain.  
Rekomendasi lain WNPG VIII adalah pelabelan produk makanan yang berbahan pangan transgenik. Pelabelan itu sendiri bukan untuk menyatakan keamanan produk itu, tetapi lebih sebagai informasi kepada masyarakat agar dapat menentukan pilihan.
Bila awalnya penelitian ditujukan untuk mengatasi kendala waktu pada pemuliaan konvensional, pangan produk rekayasa genetika (PRG), menurut Dedi Fardiaz, berkembang menjadi kegiatan komersial untuk memberi keuntungan bagi produsen maupun mutu dan nilai gizi bahan pangan yang dihasilkan. PRG pada tanaman pangan awalnya ditujukan untuk perlindungan tanaman, terutama meningkatkan ketahanan terhadap penyakit tanaman akibat serangan virus atau bakteri, atau meningkatkan toleransi terhadap herbisida.
INDONESIA sudah mengatur pangan hasil rekayasa genetika melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Pasal 13 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa:
  1. Setiap orang yang memproduksi pangan atau menggunakan bahan baku, bahan tambahan pangan, dan atau bahan baku lain dalam kegiatan atau proses produksi pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika wajib terlebih dahulu memeriksakan keamanan pangan bagi kesehatan manusia sebelum diedarkan;
  2. Pemerintah menetapkan persyaratan dan prinsip penelitian, pengembangan, dan pemanfaatan metode rekayasa genetika dalam kegiatan atau proses produksi pangan, serta menetapkan persyaratan bagi pengujian pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika.

Selain itu, juga ada Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Pasal 35 peraturan ini mewajibkan pencantuman keterangan "pangan rekayasa genetika" untuk pangan hasil rekayasa genetika. Label juga harus menyebutkan bahan PRG bila bahan yang digunakan dalam produk pangan bersangkutan merupakan hasil rekayasa genetika. 
Badan Pengawas Obat dan Makanan Departemen Kesehatan, menurut Dedi Fardiaz, melalui Komisi Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan (KKHKP) telah menyusun tata cara pengkajian keamanan pangan PRG dan tata cara ini telah digunakan untuk mengkaji keamanan pangan PRG. 
Pengkajian keamanan pangan PRG menyangkut informasi genetik dan informasi keamanan pangan. Informasi genetik berupa deskripsi umum pangan PRG, deskripsi inang dan penggunaannya sebagai pangan, deskripsi organisme donor, deskripsi modifikasi genetik, dan karakteristik modifikasi genetik. Sedangkan informasi keamanan pangan meliputi kesepadanan substansial, perubahan nilai gizi dibandingkan dengan pangan tradisional, kemungkinan menimbulkan alergi, dan toksisitas. "Untuk Indonesia, ambang batas yang ditetapkan adalah bila terdapat lebih dari lima persen bahan mengandung PRG, maka harus dicantumkan dalam label. Dengan cara ini konsumen mendapat informasi dan bisa melakukan pilihan," kata Dedi. 
Menurut dia, saat ini status pangan transgenik Indonesia menunggu rekomendasi atas hasil kajian keamanan pangan untuk kedelai dan jagung toleran glifosat. Kewajiban pelabelan pangan PRG dilakukan setelah ada rekomendasi status keamanan tanaman tersebut. Penelitian untuk menghasilkan pangan hasil rekayasa genetika pun tengah dilakukan antara lain oleh LIPI dengan sejumlah persyaratan ketat. 
Untuk mengantisipasi kontroversi mengenai produk rekayasa genetika masih akan berlangsung, tetapi di sisi lain juga ada kebutuhan untuk tidak bergantung pada pihak luar, rekomendasi WNPG VIII tentang dikembangkannya penelitian produk rekayasa genetika lokal perlu disikapi dengan arif tanpa semata-mata bereaksi menolak. Karena kenyataan yang sudah terjadi adalah bila tidak mengembangkan produk rekayasa genetik sendiri, Indonesia akan menjadi konsumen produk rekayasa genetik yang diproduksi negara lain atau perusahaan multinasional. (NMP)
(Diambil dari Department of Food Science and Technology, IPB. 2005.)

WHO mengambil peran aktif dalam kaitannya dengan makanan rekayasa genetika , terutama karena dua alasan (WHO, 2002):
  1. Atas dasar bahwa kesehatan masyarakat dapat manfaat besar dari potensi bioteknologi, misalnya, dari peningkatan kandungan gizi makanan, penurunan alergenisitas dan produksi pangan yang lebih efisien;
  2. Didasarkan pada kebutuhan untuk meneliti efek negatif terhadap kesehatan manusia dari konsumsi makanan yang diproduksi melalui modifikasi genetik, juga pada tingkat global. Jelas bahwa teknologi modern harus dievaluasi secara menyeluruh jika mereka merupakan perbaikan benar dalam cara makanan diproduksi. Evaluasi tersebut harus holistik dan mencakup semua, tidak bisa dilakukan secara sendiri-sendiri, dan sistem evaluasi non-koheren berfokus hanya pada kesehatan atau lingkungan efek manusia dalam isolasi.

---------------------------------------------------------------
REFERENSI:
Department of Food Science and Technology, IPB. 2005. "Mengantisipasi Pangan Transgenik".
(http://web.ipb.ac.id/~tpg/de/pubde_fdsf_transgenik.php | http://www.kompas.com/kompas-cetak/0405/28/sorotan/1049542.htm)

Harvard. 2012. "Genetically Modified Foods". Presidents and Fellows of Harvard College. Published by the Center for Health and the Global Environment.
http://chge.med.harvard.edu/topic/genetically-modified-foods

MedlinePlus. 2012. "Genetically Engineered Foods".
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/002432.htm

Putri, Rizka Andari. 2014. "Pangan Transgenik, Sehatkah?" Jurusan: DIII Gizi Malang, Politeknik Kesehatan Malang 2014 http://www.poltekkes-malang.ac.id/exsport/artikel.php?id=155daninp=pdf.

WebMD. "Are Biotech Foods Safe to Eat?" http://www.webmd.com/food-recipes/features/are-biotech-foods-safe-to-eat (diakses 7 Februari 2014)

WHO. 2002. 20 QUESTIONS ON GENETICALLY MODIFIED (GM) FOODS.
http://www.who.int/foodsafety/publications/biotech/en/20questions_en.pdf

WHO. "Food, Genetically Modified".
http://www.who.int/topics/food_genetically_modified/en/ (diakses 7 Februari 2014)

You Might Also Like

0 Leave comment